16 May 2019

A.      PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2020 diproyeksikan akan mencapai 271,1 juta jiwa, membutuhkan jumlah penyediaan pangan yang cukup besar dengan kualitas yang lebih baik. Selain itu, meskipun peningkatan pendapatan masyarakat menyebabkan konsumsi beras per kapita yang cenderung menurun, jumlah konsumsi beras agregat nasional masih akan meningkat sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk tersebut. Di dalam kurun waktu lima tahun ke depan (2015-2019), konsumsi beras per kapita diproyeksikan akan menurun rata-rata 0,87 persen per tahun, namun jumlah konsumsi beras nasional masih akan meningkat rata-rata 0,35 persen per tahun. Selanjutnya, jumlah permintaan pangan selain beras yaitu buah-buahan dan sayuran segar, sumber protein hewani (daging, telur, dan ikan), dan pangan olahan juga meningkat. Selain itu, pada sisi konsumsi juga masih terjadi kerawanan pangan di masa-masa tertentu dan masih banyak masyarakat yang menderita kekurangan gizi/nutrisi. Karena itu, di dalam kurun waktu lima tahun ke depan (2015-2019) perlu menyiapkan langkah-langkah strategis, nyata dan konsisten di dalam upaya menyediakan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia, baik dalam jumlah yang cukup maupun kualitas gizi/nutrisi yang lebih baik. Salah satu upaya penyediaan pangan yang dimaksud adalah peningkatan kapasitas produksi di dalam negeri yang dapat memperkuat ketahanan pangan untuk mencapai kedaulatan pangan.
Kedaulatan pangan tercermin pada kekuatan untuk mengatasi masalah dan mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri, yang perlu didukung dengan: (1) Ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri; (2) Pengaturan kebijakan pangan yang dirumuskan dan ditentukan oleh bangsa sendiri; dan (3) Kemampuan melindungi dan menyejahterakan produsen pangan, terutama petani dan nelayan.

B.     SASARAN PRODUKSI PANGAN 2019
Salah satu sasaran utama prioritas nasional di bidang pangan periode 2015-2019 untuk tetap meningkatkan dan memperkuat kedaulatan pangan adalah tercapainya peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi di dalam negeri, yaitu sebagai berikut: (1) Produksi padi diutamakan ditingkatkan dalam rangka swasembada agar kemandirian dapat dijaga; (2) Produksi jagung ditargetkan untuk memenuhi kebutuhan keragaman pangan dan pakan lokal; (3) Produksi kedele diutamakan untuk mengamankan pasokan pengrajin dan kebutuhan konsumsi tahu dan tempe; (4) Produksi gula dalam negeri ditargetkan untuk memenuhi konsumsi gula rumah tangga; (5) Produksi daging sapi untuk mengamankan konsumsi di tingkat rumah tangga; (6) Produksi ikan untuk mendukung penyediaan sumber protein asal hewan yang ditargetkan sebesar 18,7 juta ton pada tahun 2019; dan (7) Produksi garam ditargetkan untuk memenuhi konsumsi garam rumah tangga.
Pada tahun 2019, sasaran produksi pangan adalah sebagai berikut: (1) Padi 82,0 juta ton; (2) Jagung 24,1 juta ton; (3) Kedelai 1,92 juta ton; (4) Gula konsumsi 3,8 juta ton; (5) Daging sapi 755,1 ribu ton; (6) Ikan 18,7 juta ton; dan (7) Garam 3,3 juta ton.

C.      PERMASALAHAN FUNDAMENTAL PRODUKSI PANGAN SAAT INI
1.         Dominasi Skala Usaha Sempit
2.         Konversi Lahan Sawah Beririgasi Teknis
3.         Produktivitas Tanaman Padi Sulit Meningkat
4.         Keterlibatan Swasta Dalam Memproduksi Padi Masih Sangat Terbatas
5.         Pola Produksi Pertanian Belum Ramah Lingkungan dan Perubahan Iklim
6.         Inovasi Teknologi Pasca Panen Masih Lambat
7.         Kecukupan Pasokan Gula Konsumsi Produksi Domestik Belum Aman
8.         Produksi Daging Sapi Asal Dalam Negeri Belum Mencukupi Kebutuhan
9.      Layanan Irigasi Belum Optimal
D.      STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS PRODUKSI PANGAN LIMA TAHUN KE DEPAN (2015-2019)
Pertanian Sumber Pangan
1.   Lahan sawah beririgasi teknis secara bertahap perlu diamankan yang didukung dengan pengendalian konversi dan perluasan areal sawah baru seluas 1 juta ha di luar Pulau Jawa. Lahan-lahan yang dapat dimanfaatkan untuk dijadikan sawah adalah lahan terlantar, lahan marjinal, lahan di kawasan transmigrasi, lahan perkebunan dengan sistem tumpang sari, dan lahan bekas pertambangan. Untuk itu, diperlukan seleksi lahan di lokasi-lokasi yang memungkinkan untuk pencetakan sawah baru dengan sistem irigasi teknis. Ini berarti bahwa calon-calon lokasi sawah itu harus mempunyai sumber-sumber air yang sangat memadai untuk mengairi lahan sawah yang luasnya bisa ratusan hingga ribuan hektare per wilayah pencetakan sawah.
2.   Peningkatan produktivitas tanaman padi melalui: (a) Peningkatkan efektivitas dan konektivitas jaringan irigasi dengan sumber air (waduk, sungai, mata air, dll) serta pembangunan jaringan baru, termasuk juga jaringan irigasi untuk tambak ikan dan garam; (b) Revitalisasi sistem perbenihan nasional dan daerah yang melibatkan lembaga litbang, produsen benih (BUMN dan Swata), Balai Benih, dan masyarakat penangkar benih melalui pencanangan 1.000 desa berdaulat benih; (c) Penyediaan benih unggul dan pupuk bersubsidi dengan perencanaan yang matang agar tepat sasaran (sesuai dengan kebutuhan petani); (d) Revitalisasi sistem dan kelembagaan penyuluhan untuk meningkatkan efektifitas layanan dalam rangka penerapan teknologi spesifik lokasi serta perbaikan metode penentuan sasaran dukungan/subsidi pada kegiatan produksi padi dan tanaman pangan lain; (e) Pemulihan kualitas kesuburan lahan sawah yang air irigasinya tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga; dan (f) Pengembangan 1.000 desa pertanian organik.
3.  Pengembangan produksi padi/beras oleh perusahaan swasta, terutama dengan mendayagunakan BUMN pangan. Selama ini perusahaan swasta lebih tertarik pada 13 kegiatan produksi komoditas perkebunan dan hortikultura, dan produksi benih unggul (jagung dan sayuran) tetapi kurang tertarik pada produksi padi. Demikian pula, perusahaan BUMN lebih tertarik pada kegiatan produksi disektor hulu, seperti produksi pupuk dan benih (utamanya padi dan jagung). Karena itu, para investor perlu diberikan fasilitas fiskal misalnya pembebasan pajak sementara (tax holiday) selama fase belum berproduksi dan keringanan pajak (tax allowance) selama fase produktif. Disamping itu juga perlu proses perijinan lokasi dan perijinan usaha lebih sederhana, cepat dan tidak ada pungutan ilegal.
4.     Pola produksi padi dan tanaman pangan lain harus dikembangkan sehingga ramah lingkungan dan mampu mengantisipasi dan mengadaptasi diri terhadap perubahan iklim. Pola produksi yang ramah lingkungan dapat dibangun melalui penerapan produksi organik (antara lain penggunaan pupuk dan pestisida organik), bibit spesifik lokasi bernilai tinggi, dan hemat air. Sementara antisipasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dengan penyesuaian jadual tanam berdasarkan ramalan cuaca dan penggunaan varietas-varietas padi unggul yang tahan kekeringan atau tahan genangan air dalam waktu lama.
5.   Kebijakan yang mampu menciptakan sistem inovasi nasional dalam upaya perbaikan teknologi dan manajemen budidaya dan penanganan pasca panen padi. Inovasi teknologi dan manajemen budidaya diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani (Good Agricultural Practices/GAP). Penggunaan traktor tangan dan mesin penanam dengan skala yang tepat dapat mengurangi waktu dan biaya penyiapan lahan dan penanaman padi. Sementara penanganan pasca yang lebih baik diperlukan untuk mengurangi susut panen dan kehilangan hasil (Good Post Harvest Handling Practices/GPHP). Peningkatan penyediaan alat/mesin perontok yang dapat bergerak bebas (mobile thesher) dapat mengurangi kehilangan hasil. Demikian pula penggunaan mesin penggiling padi dengan daya sosoh yang baik akan dapat meningkatkan mutu beras yang dihasilkan.
6.         Untuk pengamanan produksi gula konsumsi dapat dilakukan melalui: (a) Peningkatan produktivitas dan rendemen tebu masyarakat dengan menggunakan bibit unggul baru dan cara pemeliharaan yang benar sesuai dengan anjuran (jarak tanam, pemupukan, penyiangan, pengairan, pengendalian hama/penyakit, pengletekan daun kering, dll); (b) Keprasan tidak lebih dari 3 kali; (c) Umur panen yang tepat sesuai dengan sifat genetik tanaman tebu (ada yang masak cepat, normal, dan lambat); (c) Cara panen tebu yang tepat; (d) Revitalisasi pabrik gula tua utamanya milik PTPN; dan (e) Pembangunan pabrik gula baru berikut perkebunan tebunya (pendirian pabrik gula baru tanpa kebun 14 tebu harus dilarang karena akan menyebabkan timbulnya perebutan tebu antara pabrik lama dan pabrik baru).
7.    Peningkatan produksi daging sapi dan non-sapi di dalam negeri melalui: (a) Penambahan populasi bibit induk sapi dari impor dan fasilitasi usaha pembiakan dengan pemberian Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS); (b) Pengembangan kawasan peternakan dengan mendorong investasi swasta dan BUMN dan peternakan rakyat non sapi; (3) peningkatan kapasitas pusat-pusat pembibitan ternak untuk menghasilkan bibit-bibit unggul, penambahan bibit induk sapi, penyediaan pakan yang cukup termasuk sistem ternak terpadu dengan komoditi pertanian (crop-livestock system), pengembangan padang penggembalaan, pengendalian pemotongan ternak sapi betina produktif, serta penguatan sistem pelayanan kesehatan hewan nasional untuk pengendalian penyakit, khususnya zoonosis.
8.       Peningkatan produksi tanaman pangan lainnya (jagung, ubi-ubian dan kacangkacangan) dan hortikultura (buah-buahan dan sayuran) melalui perluasan areal tanam termasuk di lahan kering seluas 1 juta ha di luar Pulau Jawa dan Bali. Disamping itu juga perlu peningkatan produktivitas tanaman terutama jagung, kedelai, cabai, dan bawang merah yang mampu beradaptasi terhadap kondisi iklim yang berubah-ubah. Untuk itu, pemerintah perlu menyediakan lahan-lahan yang dimaksud serta teknologi dan input yang diperlukan (benih, pupuk, dll).
9.      Peningkatan akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan bersubsidi seperti KKP-E dan KUPS melalui pemberian kemudahan prosedur bagi petani, penyediaan jaminan risiko dan pembayaran subsidi bunga yang tepat waktu oleh pemerintah kepada bank penyalur serta pendirian bank untuk pertanian, UMKM dan Koperasi.
10.  Penciptaan daya tarik sektor pertanian bagi petani/tenaga kerja muda melalui peningkatan investasi dalam negeri di pedesaan terutama dalam industrialisasi dan mekanisasi pertanian. Tenaga kerja muda lebih tertarik untuk bekerja di bidang agroindustri dan mekanisasi pertanian karena disamping dapat menaikkan gengsi juga dapat memperbaiki pendapatan mereka. Agroindustri yang dibangun tentu saja adalah 15 yang menggunakan bahan baku lokal, bukan dari impor, agar terjadi kaitan yang erat antara agroindustri tersebut dengan pertanian lokal sehingga mempunyai pijakan yang kuat. Agroindustri yang bahan bakunya diimpor tidak mempunyai pijakan kaki yang kuat (footloose industry) sehingga mudah goyah jika ketersediaan bahan baku impor tersebut menjadi langka atau harganya sangat mahal. Pelatihan-pelatihan tentu saja diperlukan agar tenaga kerja muda pedesaan yang direkrut, baik laki-laki maupun perempuan, dapat bekerja secara baik pada kegiatan agroindustri tersebut.
11.  Penciptaan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas komoditas pertanian terutama melalui kerjasama antara Swasta, Pemerintah dan Perguruan Tinggi. Perusahaan swasta dan Perguruan Tinggi mempunyai potensi sangat besar dalam invovasi teknologi. Untuk benih jagung, perusahaan swasta seperti PT Bisi, PT Pioneer, dan PT Charoen Pokphan telah menghasilkan benih jagung hibrida dan komposit dengan produktivitas tinggi sehngga kontribusi produktivitas lebih tinggi dibanding kontribusi areal panen dalam pertumbuhan produksi. Perusahaan-perusahaan MNC juga telah berperan penting dalam pengembangan industri perunggasan dalam menghasilkan daging dan telur ayam ras. Perguruan Tinggi, yang salah satu Matra dari Tri Matranya adalah Penelitian (Riset), maka potensi kontribusinya perlu diperhitungkan. Lembaga-lembaga riset nasional seperti Litbang Pertanian, LIPI, dan BPPT juga mempunyai peran sangat penting dalam inovasi teknologi. Namun aspek penting yang perlu diperhatikan adalah daya terap (applicability) teknologi yang dihasilkan itu di lapangan oleh para pengguna teknologi, utamanya petani, peternak, dan nelayan.
12.   Pengembangan kawasan sentra produksi komoditas pertanian unggulan yang diintegrasikan dengan model pengembangan Techno Park dan Science Park3 , dan pasar tradisional serta terhubung dengan tol laut. Techno Park dan Science Park yang disebut juga Science and Technology Park, sudah berkembang di berbagai negara. Di Indonesia sudah ada antara lain Bandung Techno Park (Bandung Science Center) dan Solo Techno Park (Solo Science Center). Ini berfungsi sebagai tempat untuk belajar mengenal teknologi dan ilmu pengetahuan oleh berbagai pihak (siswa/ mahasiswa, guru/dosen, PNS, petani, dan pelaku usaha lainnya) sehingga kompetensi SDM mereka menjadi lebih baik untuk meningkatkan daya saing. Pasar-pasar tradisional perlu lebih banyak dibangun untuk menampung hasil-hasil petani dan nelayana. Konektivitas sentra produksi pertanian denganTol Laut menajdi sangat penting agar pemasaran ke pusat-pusat konsumen menjadi lebih lancar.
13. Penguatan sistem keamanan pangan melalui perkarantinaan dan pengendalian zoonosis. Bahan pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat harus terbebas dari bakteri, jamur dan kontaminasi bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Bahan makanan termasuk tanaman dan ternak hidup yang diimpor harus terbebas dari hama dan bibit penyakit sehingga tidak menular ke wilayah Indonesia. Pencegahan penularan hama/penyakit tanaman dan penyakit hewan dari daerah yang satu ke daerah yang lain juga perlu dilakukan. Untuk itu perkarantinaan dan pengendalian penyakit zoonosis (anthrax, PMK, dll) yang dilengkapi dengan peralatan yang memadai dan SDM yang berkompetensi tinggi sangat diperlukan, baik untuk tanaman/hewan/komoditas yang diperdagangkan secara internasional maupun domestik.
14. Peningkatan layanan jaringan irigasi untuk peningkatan intensitas pertanaman dan produktivitas padi, melalui: a. Peningkatan fungsi jaringan irigasi yang mempertimbangkan jaminan ketersediaan air, dan memperhatikan kesiapan petani pengguna baik secara teknis maupun kultural, serta membangun daerah irigasi baru khususnya di luar pulau Jawa. b. Rehabilitasi 3 juta ha jaringan irigasi rusak dan 25 bendungan rusak terutama pada daerah sentra produksi padi dan mendorong keandalan jaringan irigasi kewenangan daerah melalui penyediaan Dana Alokasi Khusus (DAK) serta bantuan pengelolaan dari pemerintah pusat. c. Optimalisasi layanan irigasi melalui operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dari hulu sampai hilir. e. Peningkatan peran petani secara langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan daerah irigasi termasuk operasi dan pemeliharaan, antara lain melalui sistem out-contracting. f. Peningkatan efisiensi pemanfaatan air irigasi dengan teknologi pertanian hemat air seperti System of Rice Intensification/SRI, pengembangan konsep pemanfaatan air limbah yang aman untuk pertanian dan penggunaan kembali air buangan dari sawah (water re-use). g. Internalisasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif (PPSIP) dalam dokumen perencanaan daerah. h. Pengelolaan lahan rawa berkelanjutan yang dapat mendukung peningkatan produksi padi secara berkelanjutan dengan meminimalkan dampak negatif dari kegiatan pengelolaan tersebut terhadap kelestarian lingkungan hidup.

E.       PENUTUP
Kemandirian pangan akan terwujud jika swasembada pangan tercapai. Jika swasembada dan kemandirian pangan tercapai, maka ketahanan pangan akan kuat. Setelah itu, maka kedaulatan pangan akan menjadi mantap. Untuk itu, Pemerintah secara politik harus lebih serius untuk mewujudkannya melalui penyiapan anggaran yang memadai untuk mendukung implementasi berbagai program terkait. Instansi-instansi yang terkait dengan pencapaian kedaulatan pangan harus bersatu-padu dan terkoordinasi di dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program dan kebijakannya, yang mengacu pada Dokumen RPJMN RI 2015-2019 yang disusun Bappenas sebagai penjabaran dari Visi-Misi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Ke depan tidak ada lagi kementerian yang membuat visi-misi secara sendiri-sendiri seperti pada pemerintahan sebelumnya selama era reformasi.

A.    Latar Belakang
Peranan sektor pertanian dalam pembangunan di Indonesia tidak perlu diragukan lagi.Garis Besar Haluan Negara (GBHN) telah memberikan amanat bahwa prioritas pembangunan diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian.Pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi pertanian guna memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan industri dalam negeri, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan petani, memperluas kesempatan kerja dan berusaha mendorong pemerataan (Soekartawi, 2003).
Hortikultura memiliki manfaat yang sangat beragam, selain memenuhi kebutuhan jasmani sebagai sumber vitamin, mineral, dan protein (sayuran dan buah-buahan), tanaman hortikultura juga dapat memenuhi kebutuhan rohani karena dapat memberikan rasa tentram, ketenangan, dan estetika disaat kita mengkonsumsi tanaman hortikultura.Kecamatan Tidore berdasarkan keadaan biofisik lingkungan mempunyai potensi untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian mulai dari hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan.Lahan juga cukup luas untuk pengembangan komoditas tanaman hortikultura seperti Bawang Merah.
Bawang Merah (Allium Cepa L)  sebagai salah satu jenis tanaman hortikultura umumnya mempunyai sifat-sifat seperti diproduksi musiman dan selalu segar, penanaman bawang merah dapat dilakukan pada bulan April sampai Oktober, karena pada bulan-bulan tersebut sedang mengalami musim kemarau. Tanaman bawang merah kurang baik apabila ditanam pada tempat-tempat becek yang mengandung air, namun bawang merah sangat membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya, terutama pembentukan umbi. Oleh karena itu, waktu tanam yang paling baik untuk menanam bawang merah ialah pada musim kemarau.
Bawang merah merupakan tanaman berumbi lapis berwarna keungu-unguan, yang memiliki nama latin Allium Cepa L. Bawang merah umumnya memiliki bau yang tajam dan mampu memberikan rasa pada suatu sajian. Bawang merah mengandung beberapa senyawa yang penting bagi tubuh antara lain vitamin C, kalium, serat, dan asam folat. Selain itu bawang merah juga mengandung kalsium dan zat besi, tanaman ini juga mengandung zat pengatur tumbuh alami berupa hormon auksin dan giberelin.
Tabel 1.1.  Kandungan Gizi Bawang Merah per 100gram
Nilai Gizi per 100 G (3.5 Oz)
Energi
166kj (40 kcal)
Karbohidrat
9,340    g
Gula
4,240    g
Diet serat
1,700    g
Lemak
0,100    g
Jenuh
0,042 g
Monounsaturated
0,013 g
Polyunsaturated
0,017 g
Protein
1,100    g
Air
89,110    g
Vitamin A equiv
0,000 mg
Thiamine (Vitamin B1)
0,046 mg
Riboflavin (Vitamin B2)
0,027 mg
Niacin (Vitamin B3)
0,116 mg
vitaminB6
0,120 mg
Folat (Vitamin B9)
19,000 mg
Vitamin B12
0,000 mg
Vitamin C
7,400 mg
Vitamin E
0,020 mg
Vitamin K
0,400 mg
Kalsium
23,000 mg
Besi
0,210mg
Magnesium
0,129 mg
Fosfor
29,000mg
Kalium
146 ,000mg
Sodium
4,000mg
Seng
0,170mg
Sumber: USDA Nutrient Database
Bawang merah memiliki manfaat sebagai obat yaitu untuk mengobati maag, masuk angin, menurunkan kadar gula dalam darah, menurunkan kolesterol, sebagai obat kencing manis (diabetes mellitus), memperlancar pernafasan dan memperlancar aliran darah karena bawang merah dapat menghambat penimbunan trombosit dan meningkatkan aktifitas fibrinotik (Budi Samadi; Bambang Cahyono, 2005). Data Produksi Bawang Merah di Kota Tidore Kepulauan  pada tahun 2014 sebesar 62,75 ton  dengan luas tanam 15,40 ha,pada tahun 2015 mengalami penurunan  produksi menjadi24,15 ton dengan luas tanam 8,56 ha,produksi bawang merah lokal pada tahun 2016 mengalami peningkatan produksi menjadi 27,29 ton dengan luas tanam 9,84 ha, dan produksi bawang merah lokal mengalami peningkatan menjadi117,00 ton dengan luas tanam34,10 ha pada tahun 2017. Berikut data luas lahan, produksi dan produktivitas bawang merah di Kota Tidore Kepulauan.
Tabel 1.2. Perkembangan Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah Lokal Di Kota Tidore Kepulauan Tahun 2014-2017
Tahun
Luas Tanam (Ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (ton/ha)
2014
15,40
62,75
4,07
2015
8,56
24,15
2,82
2016
9,84
27,29
2,77
2017
34,10
117,00
3,43
Sumber : Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan dan Ketahanan Pangan Kota Tidore Kepulauan, 2017.

Berdasarkan data pada tabel 1.2, terdapat ketidaksesuaian antara luas tanam yang mengalami penurunan dengan jumlah produksi dan produktivitas bawang merah lokal mengalami peningkatan pada tahun 2014 di Kota Tidore Kepulauan.Pada tahun 2015 mengalami penurunan, kemungkinan besar penyebab menurunnya produksi bawang merah di Kelurahan Topo adalah belum optimalnya penggunaan faktor produksi. Faktor produksi yang dimaksud adalah luas lahan, tenaga kerja, bibit, dan pupuk yang digunakan dalam usahatani bawang merah. Di Kelurahan Topo, komoditas bawang merah dapat dikatakan berpotensi karena pada tahun 2014 Kelurahan Topo merupakan penghasil bawang merah terbesar di kota tidore kepulauan. Namun pada tahun 2015 sampai pertengahan 2016 prestasi ini mulai menurun dimana pada tahun tersebut posisi Kelurahan Topo menjadi penghasil bawang merah menurun drastis karena luas panen bawang merah di daerah tersebut justru selalu menurun. Akibat penurunan luas lahan tersebut berdampak juga terhadap penurunan produksi bawang merah di Kelurahan Topo. Penurunan produksi tersebut mengakibatkan kurangnya pasokan bawang merah di pasar sarimalaha Kota Tidore Kepulauan sehingga harga bawang merah di pasar melonjak naik dari harga normalnya. Kekurangan pasokan bawang merah tersebut diduga karena kondisi alam yang kurang mendukung ketika dilakukan proses penanaman. Selain itu juga kekurangan pasokan bawang merah juga diakibatkan karena kurangnya persediaan benih yang diperoleh petani karena telah berkali-kali mengalami gagal panen akibat penyakit dan hama tanaman sepanjang tahun 2013-2016. Kurangnya stok benih yang didapatkan oleh petani berdampak juga terhadap kenaikan harga benih yang melambung tinggi akibat persediaan benih tersebut menipis. Pada pengolahannya petani dibantu oleh tenaga kerja yang berasal dari keluarga sehingga secara ekonomi menguntungkan karena tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk upah tenaga kerja. Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor penggunaan input dalam usahatani bawang merah di Kelurahan Topo.
Faktor produksi dikenal pula dengan istilah input, production factor, dan korbanan produksi. Faktor produksi memang sangat menentukan besar atau kecilnya produksi yang diperoleh. Berbagai pengalaman menunjukan bahwa faktor produksi lahan, modal untuk membeli bibit, pupuk, dan obat-obatan, tenaga kerja serta aspek manajemen adalah faktor produksi yang terpenting diantara faktor produksi yang lain (Soekartawi,2002).
Kelurahan Topo merupakan salah satu wilayah yang memproduksi bawang merah lokal di Kecamatan Tidore. Pada proses usahatani, petani bawang merah di kelurahan Topo menggunakan ladang sebagai tempat untuk usahatani bawang merah. Pada umumnya proses usahatani dimulai pada bulan April sampai dengan Oktober atau musim kemarau. Waktu tersebut merupakan waktu yang sangat cocok untuk menanam bawang merah karena bawang merah sendiri tergolong tanaman yang tidak cocok dengan suplai air yang berlebihan. Petani bawang merah lebih cenderung menggunakan pupuk urea, KCl, serta TSP yang diberikan sesuai umur tanaman. Petani bawang merah di Kelurahan Topo hanya mengandalkan tenaga kerja keluarga dan tenaga kerja dari kelompok dengan sistem gotong royong secara bergantian,sehingga tidak membutuhkan biaya yang cukup banyak. Berdasarkan permasalahan yang ada, membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi bawang merah lokal Topopada Kelompok Tani Kelurahan Topo, Kecamatan Tidore, Provinsi Maluku Utara.
B.     Identifikasi Masalah
  1.  Apakah faktor lahan, tenaga kerja, bibit, pupuk urea, pupuk TSP, dan pupuk KCl berpengaruh terhadap produksi bawang merah lokal Topo padaKelompok Tani Kelurahan Topo, Kecamatan Tidore?
  2. Apakah usahatani bawang merah lokal Topo pada Kelompok Tani Kelurahan Topo, Kecamatan Tidore menguntungkan?

C.    Tujuan Penelitian
  1. Menganalisis pengaruh penggunaan faktor produksi lahan, tenaga kerja,bibit, pupuk urea, pupuk TSP, dan pupuk KCl terhadap produksi bawang merah lokal Topo pada Kelompok Tani Kelurahan Topo, Kecamatan Tidore.
  2. Menganalisis keuntungan bawang merah lokal Topo pada Kelompok Tani Kelurahan Topo, Kecamatan Tidore.